Senin, 16 Maret 2015

Doa Berkedok Ramal

Tulisan ini dibuat tanggal 29 Agustus 2012 oleh temanku Ina Massijaya yang minggu kemarin resmi menjadi Sarjana Ekonomi. Hallo Ina! izin repost ya :)

Satu Hadiah untuk Dian Nur Amalia

Hai. Hari ini aku mau “meramal” lagi boleh, ya?
Iya, doa berkedok ramal.
Yang ini khusus untuk Dian Nur Amalia. Teman sejak tahun terakhir memakai seragam putih biru, hingga detik ini. Semoga, sampai selamanya.
Aku cuma minta satu pinta untuk siapapun kamu yang membaca: “Amin ya rabbal alamin” yang terucap dari hati yang ikhlas dan benar-benar berharap.
Bismillahirrohmanirrohim,

28 Agustus 2017.
21:21 WIB, 15:21 di Paris.
Dian Nur Amalia, 24 tahun 10 bulan. Kala itu, di pojokan kafe Merce&The Muse, dirinya memang terlihat sendiri.
Tapi tidak, otaknya begitu ramai. Ramai dipenuhi satu roll sejarah sepanjang lima tahun yang terjadi dalam hidupnya. Lima tahun ajaib, penuh kerumitan dan kesempurnaan, sehingga mungkin kalau diceritakan, kamu mungkin berpikir Dian punya yang namanya bubuk ibu peri. Tapi kamu pasti mengerti, Dian cuma punya doa dan usaha yang tinggi, setinggi mimpi-mimpinya.
Dian Nur Amalia.
Bukan, bukan Dian Nur Amalia lima tahun lalu yang sel-sel otaknya dipenuhi kalimat pesimis. Dian yang ini beda. Memang kalimat optimis tidak akan pernah terlintas di pikirannya, tapi kalimat yang jauh lebih masuk akal selalu memenuhi ruang-ruang langit kepalanya: “Bismillahirrohmanirrohim, aku sudah mencoba dan hasilnya terserah Allah.”
Matanya menerawang, mencoba mengingat apa yang terjadi lima tahun yang lalu.
Lima tahun lalu, ia mengingat ada satu bisikan yang membuat hidupnya berubah. Bisikan itu membuatnya lupa diri untu terus bersenang-senang, dan membuatnya tenggelam dalam setumpuk tulisan ilmu yang terus dibacanya, dari fajar hingga petang, dan hingga malam.
Bisikan itu membuat yang mulanya tertulis dua, menjadi tiga koma.
Untuk tiga koma yang pertama, sang bisikanlah alasannya —-sampai ia melihat euforia kebahagiaan yang terpancar dari orang-orang di sekelilingnya, dan betapa ia menyadari bahagianya atas tiga koma.
Dan tiga koma terasa adiktif baginya. Terkadang letih menghampiri memang, tapi untuknya kebahagiaan atas tiga koma jauh, jauh, san jauh lebih besar daripada letihnya.
Akhirnya tiga koma mengantarnya menuju toga, mengantarnya menuju satu perusahaan kosmetik favoritnya. Marketing, dan mungkin saat itu ia akan bertemu Galuh, yang saat itu juga bekerja di bagian marketing perusahaan itu.
Tiga koma, sukses, dan segala kesibukan ala ibukota membuatnya lupa akan hati. Hingga sampai suatu hari, ada yang mengaku telah memujanya sejak lama, dan ketika itu juga, menjadi pujaan hatinya.
Tak lama kemudian, pujaan hatinya meminta kepastian untuk menetapkan hati. Kala itu Dian tak banyak bicara, hanya air mata bahagia yang berlinang.
Lalu Dian pergi dari tempatnya bekerja, mengikuti sang pujaan hati yang lebih dulu memuja dirinya pindah ke kota yang dari dulu dipuja: Paris. Lalu melanjutkan kuliah dengan beasiswa yang ia tak percaya berada di tangannya, dan bahagia.
Betapa hidupnya seperti mimpi, yang terkadang percaya tak ada dalam otaknya ketika kaset memori terputar dalam kepalanya.
Hingga petang menjelang, Dian masih di pojokan Merce&The Muse. Bibirnya tersenyum sesekali sambil mengucap hamdalah. Lalu tiba-tiba pujaan hatinya datang, membawa kamera.
Merekam senyumnya di Place Vendome, Eiffel Tower, Moulin Rouge, dan Sushi Gourmet.

hmmmm.... sudah 2,5 tahun yang lalu tulisan ini dibuat. Alhamdullilah, sekarang aku sudah bukan dua koma lagi, tapi tiga koma. Iya, memang dikala itu ada seseorang yang membisikan ku agar lebih giat belajar, tepat banget ramalan nya Na!  Dan aku sekarang dengan orang yang aku puja sejak semester 4, walaupun di cerita Ina aku bersama orang yang sudah memujaku lebih dulu (hampir sama lah ya bedanya ketuker aja :p) doakan aku sama dia bisa sampai nikah ya! amiin :) dan semoga Paris benar-benar bisa ditangan aku ya :') kita lihat 2,5 tahun ke depan...

makasih ya Na buat doa berkedok ramal nya, really inspired!